Dalam Kesabaran Ada Kesadaran

Selasa, 23 November 2010

Ada sebuah kebiasaan yang menyenangkan hati dan jiwa saya belakangan 
ini. Setiap kali selesai melakukan meditasi, kemudian menemukan 
rangkaian pemahaman yang layak untuk dibagi ke banyak orang hari itu, 
maka saya tulislah pesan tadi ke dalam pesan SMS yang dikirim ke 
puluhan sahabat. Dan tidak sedikit sahabat yang menerusakannya lagi 
ke puluhan sahabatnya yang lain. Maka jadilah pesan-pesan SMS yang 
selalu diawali dengan kata `Gede Prama's message of the day' sebagai 
bahan renungan yang ditunggu banyak sahabat. Begitu ada minggu tanpa 
SMS terakhir, tidak sedikit sahabat yang mengirimi saya SMS : mana 
pesan untuk minggu ini ?

Kalau ada orang yang melakukan silaturahmi dengan cara mendatangi 
rumah kawan, saya melakukan silahturahmi melalui SMS. Dan dalam pesan-
pesan SMS yang umumnya bertemakan cinta, keheningan, kebahagiaan dan 
kesabaran, ada yang sempat bertanya, adakah mereka menerima pesan 
dari seorang konsultan ataukah dari seorang pendeta ?. Dengan enteng 
pertanyaan ini saya jawab, bahwa pesan ini datang dari seorang 
gelandangan intelektual. Sebuah sebutan yang diberikan oleh salah 
seorang sahabat, dan kebetulan saya menyukainya. Pasalnya, 
pengembaraan saya telah melalui banyak sekali halaman-halaman rumah 
orang lain.

Lahir dan besar memang di dunia manajemen, namun karena merasa tandus 
dan kering di tempat lahir ini, saya melanjutkan pengembaraan ke mana-
mana. Seorang sahabat jurnalis yang merangkum karya saya, sempat 
menyebut perjalanan saya sejauh ini sebagai campuran antara 
psikologi, pilosopi dan religi. Dan apapun sebutan dan campurannya, 
mirip dengan rumah yang saya tinggali ketika tulisan ini dibuat, 
rumah intelektual saya juga tanpa pagar pemisah dan pagar penyekat.

Yang jelas ada satu hal yang amat membantu saya hidup hening dalam 
rumah intelektual tanpa pagar : kesabaran. Kita masih bisa berdebat 
tentang hubungan antara kualitas intelektual serta keheningan di satu 
sisi, dengan kesabaran di lain sisi. Namun saya mendapat pelajaran 
amat banyak dari kesabaran. Ia tidak saja menjadi mesin kebahagiaan, 
tetapi juga mesin kejernihan dan keheningan.

Bila menoleh pada tangga-tangga pemahaman saya terdahulu, betapa 
ketertutupan pikiran dan mind mudah sekali muncul dalam kualitas 
kepribadian yang jauh dari kesabaran. Marah adalah pertanda ekstrim 
yang muncul ke permukaan sebagai hasil produksi ketidaksabaran. Cuman 
ketertutupan mind tidak bisa dilihat semudah kita melihat orang 
marah. Ia sering kali hadir secara amat tersembunyi. 

Ketika masih melanjutkan studi di Inggris dan sempat sedikit 
terpesona dengan ide-ide orang seperti Derrida dan Foucault, pernah 
terpikir untuk ikut mengkonstruksi mind ke dalam weak and strong 
mind. Di mana kesabaran lebih dekat dengan weak mind, dan 
ketidaksabaran menghasilkan strong mind. Namun, semakin sang 
kesabaran diselami dan didalami, semakin saya dihadapkan pada 
borderless mind, sebuah pemahaman tanpa sekat-sekat. Apapun isi mind 
dari tua-muda, suka-duka, desa-kota, terdidik-tidak terdidik, sampai 
dengan born and unborn mind, tetap saja sekat-sekat itu tidak banyak 
membantu. Setiap bentuk sekat membuat perjalanan pemahaman tidak 
tambah dalam, sebaliknya malah tambah dangkal.

Sebut saja sekat-sekat benar-salah, atau suka-tidak suka. Ia membuat 
semua orang hanya mampu melihat sebagian kecil saja dari wajah dunia. 
Apa lagi sekat-sekat menakutkan seperti ideologi dan agama yang 
dibela dengan teror bom dan pada akhirnya menghasilkan air mata. Ia 
disamping mendangkalkan, juga membuat sang kehidupan berwajah 
mengerikan. 

Bercermin dari sinilah, saya batalkan niat saya untuk ikut 
mengkonstruksi weak and strong mind. Kemudian, berjalan terus bersama 
kesabaran dengan sebuah cita-cita sederhana : melampaui mind. 
Bedanya, kalau Derrida dan Foucault menggunakan kendaraan pikiran, 
saya sedang belajar melampaui pikiran dengan jalan-jalan Yoga. Sebuah 
jalan dengan teramat sedikit bahasa, kata-kata apa lagi sekat. 

Di tingkat kesadaran, dunia memang tanpa pagar, pemisah dan tanpa 
sekat. Namun, ia menjadi sulit dijangkau karena manusia biasa melihat 
dan menjelaskan `hanya' melalui bahasa - dari mana sekat dan pemisah 
itu berasal. Sungguh tidak mudah berkomunikasi, apa lagi 
menerangkannya ke Anda bagaimana wajah sang kesadaran melalui media 
bahasa. Ingin sebenarnya, suatu waktu kolom ini hanya ada foto dan 
nama saya, dan sisanya hanya kertas kosong. Bila mana perlu tanpa 
kertas, tanpa penjelasan, tanpa apa-apa. Yang ada hanya kosong 
melompong. Sayangnya, pengelola majalah ini tidak cukup gila untuk 
saya ajak masuk dalam kesadaran.

Kembali ke cerita awal saya tentang pesan-pesan SMS yang membuat 
banyak teman bertanya heran apakah saya menekuni psikologi, pilosopi 
atau malah religi, dari tempat pengembaraan saya kemukakan ke sahabat-
sahabat, saya hanyalah seorang pertapa yang disuruh jadi raja. Dan 
dari kursi raja ini kemudian saya menemukan, kesabaranlah kendaraan 
yang bisa membawa kita dalam kesadaran. Apakah Anda akan ikut saya, 
tidak ikut atau lari ketakutan, itu urusan Anda masing-masing. Yang 
jelas, begitu tulisan ini selesai dibuat - asal Anda tahu - saya lari 
tunggang langgang meninggalkan penjelasan-penjelasan dangkal dan 
memalukan ini.

0 komentar:

Posting Komentar